
Kemayau: Si Langka dari Kalimantan yang Harus Direbus Sebelum Dinikmati – Di tengah lebatnya hutan tropis Kalimantan — tempat suara burung bersahut, kabut tipis menari di atas sungai, dan aroma tanah basah memenuhi udara — tersembunyi sebuah rahasia kuliner yang tidak banyak dikenal dunia luar. Namanya Kemayau, buah langka yang hanya bisa ditemukan di beberapa wilayah pedalaman Borneo. Sekilas tampak biasa, tapi siapa sangka, buah ini memiliki karakter unik, aroma kuat, serta cara penyajian yang tak biasa: harus direbus sebelum dinikmati.
Masyarakat Dayak mengenal Kemayau sebagai buah khas musim penghujan, tumbuh liar di dalam hutan alami yang masih perawan. Pohonnya tinggi menjulang, daunnya rimbun, dan buahnya tergantung manis di antara ranting — bentuknya bulat lonjong, berwarna hijau kekuningan saat matang, dengan kulit agak tebal dan permukaan sedikit berminyak. Namun, di balik tampilan sederhananya, tersembunyi cita rasa yang hanya bisa “dibuka” melalui ritual perebusan.
“Kalau dimakan mentah, lidah bisa kebas,” canda seorang warga di pedalaman Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Dan memang benar — buah Kemayau mentah memiliki rasa getir, sedikit pahit, dan aroma tajam seperti campuran jengkol dan durian muda. Tetapi setelah direbus perlahan selama satu hingga dua jam, ajaibnya, buah ini berubah total. Dagingnya menjadi lembut, harum khas menyeruak, dan rasanya berubah menjadi manis gurih dengan sentuhan rasa kacang panggang.
Tak heran jika masyarakat lokal menyebutnya sebagai buah ajaib dari hutan.
“Harus sabar dulu, baru terasa nikmatnya,” kata mereka — seolah menggambarkan filosofi hidup orang Kalimantan: bahwa semua yang baik datang bersama kesabaran dan penghormatan terhadap alam.
Kemayau memang bukan buah untuk semua orang. Aromanya tajam, teksturnya padat berminyak, dan tampilannya tak seindah buah pasar modern. Tapi bagi masyarakat pedalaman, inilah buah nostalgia, buah kenangan masa kecil, dan simbol rezeki dari hutan. Saat musimnya tiba, anak-anak biasanya membantu orang tua mencari Kemayau di tepi sungai atau di hutan damar. Buah yang jatuh dikumpulkan, direbus bersama, lalu disantap hangat dengan nasi dan sambal terasi.
Rasa, Tradisi, dan Jejak Budaya Kemayau di Kalimantan
Bagi masyarakat Dayak, buah bukan hanya makanan, tapi juga bagian dari cerita hidup dan spiritualitas mereka. Kemayau adalah salah satu contohnya — buah yang dianggap “pemberian hutan” dan memiliki tempat istimewa dalam budaya mereka.
Musim buah Kemayau selalu dinanti. Biasanya datang antara November hingga Januari, ketika hujan mulai deras dan sungai meluap. Suara tawa anak-anak, aroma rebusan buah di dapur bambu, dan asap kayu yang mengepul dari tungku tanah — semua itu menjadi tanda bahwa Kemayau sedang musimnya.
Buah ini tidak hanya dimasak untuk dimakan bersama keluarga, tapi juga sering disajikan saat upacara adat atau pertemuan kampung. Di beberapa wilayah Kalimantan Tengah, misalnya, Kemayau digunakan sebagai bagian dari sesajen adat yang melambangkan kesuburan tanah dan kemurahan hutan.
Proses memasaknya pun menjadi ritual kecil. Buah yang baru dipetik biasanya masih mengandung getah. Karena itu, penduduk lokal merebusnya utuh, tanpa dikupas, dalam panci besar di atas tungku kayu. Setelah beberapa jam, kulit buah akan merekah sendiri, menandakan bahwa dagingnya sudah siap diambil. Bau harum yang keluar dari rebusan itu sangat khas — perpaduan antara aroma kacang, durian, dan sedikit wangi kayu hutan yang lembut.
Daging buahnya berwarna kuning keemasan, bertekstur padat namun lembut. Rasanya? Sulit dijelaskan dengan satu kata. Ada rasa manis, sedikit gurih, dan jejak pahit ringan yang justru menambah kedalaman rasa.
Beberapa orang menggambarkannya seperti alpukat matang yang direbus dengan bumbu kacang, sementara yang lain mengatakan rasanya seperti “durian versi lembut tapi tidak terlalu manis”.
Setelah direbus, buah ini bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan.
Yang paling populer adalah “Sambal Kemayau” — potongan daging buah tumis dengan cabai, bawang merah, serai, dan sedikit santan. Teksturnya mirip tempe lembut, dengan rasa gurih pedas yang menempel di lidah.
Ada juga yang membuat Kemayau goreng kering, dijadikan lauk tahan lama untuk bekal berburu di hutan.
Selain lezat, buah ini ternyata kaya manfaat gizi. Dagingnya mengandung lemak nabati alami, serat tinggi, dan antioksidan yang membantu menjaga pencernaan dan menurunkan kadar kolesterol. Minyak alami dalam buahnya diyakini menyehatkan jantung, dan rebusan air kulitnya sering dipakai sebagai obat tradisional untuk meredakan batuk.
Namun di balik semua keistimewaannya, buah Kemayau kini terancam langka. Deforestasi besar-besaran di Kalimantan telah mengurangi habitat pohon-pohon liar penghasil buah ini. Banyak area hutan yang dulunya menjadi tempat tumbuh Kemayau kini berubah menjadi perkebunan atau tambang terbuka. Akibatnya, buah ini semakin sulit ditemukan, bahkan oleh masyarakat yang tinggal di dekat hutan sekalipun.
Beberapa komunitas Dayak kini mulai menanam kembali pohon Kemayau di kebun adat dan pekarangan rumah. Mereka sadar, jika tidak dijaga, generasi mendatang mungkin hanya akan mengenal nama buah ini dari cerita kakek-nenek mereka. Di beberapa pasar tradisional Kalimantan Barat, buah Kemayau rebus masih dijual musiman — harganya bisa mencapai dua kali lipat dari durian lokal, menandakan betapa berharganya buah ini.
Lebih menarik lagi, belakangan chef dan pelaku kuliner lokal mulai melirik Kemayau sebagai bahan eksotis untuk hidangan modern. Di Pontianak dan Palangka Raya, beberapa kafe sudah mulai menghidangkan “Kemayau Butter Toast” — roti panggang isi daging buah Kemayau yang dihaluskan seperti selai kacang. Ada juga yang membuat “Es Krim Kemayau”, memadukan cita rasa gurih buah ini dengan krim manis dingin yang menyejukkan lidah.
Langkah-langkah kecil ini menjadi harapan baru: bahwa buah lokal tak harus dilupakan, bahkan bisa bersinar di dunia kuliner modern.
Kesimpulan
Buah Kemayau adalah potret kecil dari kekayaan alam Kalimantan yang luar biasa — langka, eksotis, dan penuh cerita. Ia tidak sekadar buah, tetapi juga jejak kehidupan, simbol budaya, dan bukti betapa manusia dan alam pernah hidup selaras.
Cara mengolahnya yang unik — harus direbus sebelum dimakan — mencerminkan kearifan lokal: bahwa setiap hasil bumi punya “cara sendiri” untuk dinikmati. Di tangan masyarakat Dayak, buah sederhana ini berubah menjadi hidangan penuh makna, mengajarkan kesabaran, ketelitian, dan rasa hormat terhadap alam.
Namun, pesona Kemayau kini berada di ujung tanduk. Penebangan hutan, alih fungsi lahan, dan minimnya pengetahuan tentang pelestarian tumbuhan liar membuat buah ini semakin sulit ditemukan. Jika tak dijaga, mungkin dalam beberapa dekade ke depan, Kemayau hanya tinggal nama dalam buku botani dan cerita rakyat.
Karena itu, menjaga buah ini berarti menjaga lebih dari sekadar rasa. Kita menjaga ingatan, identitas, dan hubungan manusia dengan hutan. Bayangkan: di masa depan, wisatawan bisa datang ke Kalimantan bukan hanya untuk melihat orangutan, tapi juga mencicipi sepiring Kemayau rebus hangat, sambil mendengar kisahnya dari penduduk lokal.
Buah ini mengingatkan kita bahwa keajaiban sering lahir dari hal-hal sederhana. Bahwa di balik kulit kasar dan aroma tajam, tersimpan kelezatan yang tak tergantikan. Dan bahwa rasa syukur kepada alam seringkali dimulai dari panci rebusan yang mengepul pelan di dapur bambu.
Kemayau bukan sekadar buah — ia adalah cerita hidup Kalimantan itu sendiri: liar, jujur, dan penuh keajaiban bagi siapa pun yang bersedia merasakannya dengan sepenuh hati.